Tren Dunia Properti harus Tetap Hati-hati dalam Menyikapinya

Tren Dunia Properti harus Tetap Hati-hati dalam Menyikapinya
Berinvestasi pada properti sebenarnya tidak kalah resikonya daripada berinvestasi pada bab-bab lainnya. Mengapa saya katakan demikian ? Coba agan ingat-ingat, waktu membayarkan uang sebagai bentuk transaksi ke pengembang, apakah propertinya sudah jadi ? Ya benar sekali! Tren pre-order alias bayar dulu baru di bangunin, ini adalah metode yang berkembang saat ini, dimana kita sebagai pembeli properti, membeli hanya berdasarkan janji akan dibangunkan, fasilitas bla bla sekian, akan ada jalan tol dan sebagainya. Oleh sebab itu saya tuliskan sebuah bab yang membuat kita wajib waspada karena investasi pada properti memiliki risiko yang sebenarnya tidak kalah berat dengan instrumen lainnya. Memang benar banyak orang yang bilang membeli properti tidak ada salahnya karena ada masa pengampunan yang artinya suatu hari properti pasti akan naik. Namun hal ini dapat diucapkan oleh orang-orang yang memang sudah salah beli, bagi kita yang belum membelinya akan lebih baik menghindari hal tersebut. Benar ?
Dalam berinvestasi pada properti di mana kita bertindak sebagai investor atau yang membeli sebuah properti pada pengembang memiliki 3 kriteria dasar yang perlu kita perhatikan:
1. Kredibilitas Pengembang
Perusahaan pengembang yang sudah lama mengembangkan properti dan sudah go-public akan jauh lebih baik dibandingkan yang baru mengembangkan. Untuk bisa mendapatkan feedback dari sebuah pengembang dapat kita cari melalui search engine di internet mengenai pengembang tersebut ataupun dapat melalui akses dari Real Estate Indonesia (REI), Yayasan Lembaga Konsumen atau Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia. Kita juga dapat memperhatikan kredibilitas pengembang dengan adanya kerja sama mereka dengan bank, biasanya ciri mereka bekerja sama dengan bank dengan adanya fasilitas KPR, karena tentunya bank sebelum bekerja sama telah melakukan evaluasi terhadap developer tersebut, checking terhadap status tanah, peruntukan lahan, sertifikat dan legalitas tanah, aspek umum dan sosial serta mungkin kondisi lapangan yang mendukung. Bila tidak terdapat cicilan KPR, hanya cicilan bertahap dan cash keras kita wajib curiga karena jarang sekali saat ini developer yang mau pakai uang pribadi untuk pengembangan.
2. Legalitas
Legalitas atas tanah adalah hal terpenting karena bila legalitasnya bermasalah pastinya pembangunan terhambat hingga berhenti. Hal yang terpenting adalah daerah tersebut telah memiliki sertifikat induk yang kemudian dilakukan pemecahan dari sertifikat induk bila sudah selesai pembangunan. Bila saat itu status lokasi berupa izin lokasi akan sangat berisiko untuk dilakukan transaksi. Pengembang yang baik akan dapat memberikan informasi dan memperlihatkan legalitas atas tanah. Hal lain adalah perihal PPJB, dimana PPJB adalah satu-satunya kekuatan dari pembeli karena sertifikat belum dimiliki. PPJB mengikat investor dengan pengembang. Dalam PPJB dibahas mengenai spesifikasi rumah, harga, cara pembayaran, kapan serah terimanya, pemeliharaan, hak kewajiban dengan saksinya.
3. Janji dan Kepastian
Segala jenis yang tertera pada brosur sebenarnya adalah janji yang harus dipenuhi, namun tidak jarang janji dan spesifikasi berubah seiring dengan berjalannya waktu dengan berbagai macam alasan. Oleh karena itu berbagai macam janji tersebut harus dikonfirmasi ulang dengan memberikan janji tertulis agar di kemudian hari dapat dipertanggungjawabkan.
Sebenarnya hal-hal negatif apa sajakah yang mungkin terjadi dari transaksi properti?
1. Tidak Transparannya developer mengenai legalitas, apakah SHM, HGB, HGU, dan lain sebagainya sehingga bisa saja lahan tersebut adalah lahan yang bermasalah lebih parahnya lagi terjadi sengketa. Selain sengketa masalah status kepemilikan juga perlu diperhatikan.
Sertifikat dibagi menjadi sertifikat atas tanah dan atas bangunan. Hak atas kepemilikan tanah yang paling lemah disebut dengan tanah berstatus girik. Namun sebenarnya girik bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah namun hanya berupa bukti bahwa terhadap sebidang tanah tersebut dikuasai dan dibayarkan pajaknya oleh si pemilik girik.
Seharusnya ketika UU No. 5 tahun 1960 atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diberlakukan. Seluruh tanah-tanah yang belum tersertifikasi seperti girik harus didaftarkan konversinya ke kantor pertanahan setempat. Selain girik yang wajib didaftarkan contohnya petok, ketitir, dan masih banyak lagi.
Untuk melakukan pengurusan terhadap tanah girik dapat dilakukan sendiri atau dapat melalui notaris yang bisa melakukan pengurusan. Pada umumnya notaris yang digunakan adalah notaris yang berada di area tempat tanah tersebut berada.
Bukti kepemilikan tanah dengan status hak milik adalah bukti kepemilikan tanah yang tidak perlu dilakukan perpanjangan, berbeda dengan HGB dan HGU dimana memiliki tanggal jatuh tempo yang wajib diperpanjang sebelum jatuh tempo, pada umumnya 15-20 tahun.
Sertifikat bangunan yang perlu kita miliki apabila properti tersebut berbentuk bangunan atau ada bangunannya adalah IMB atau Izin Mendirikan Bangunan. Tidak jarang kita melihat bangunan yang tengah didirikan di segel, hal itu akibat dari pengurusan IMB yang belum selesai maupun pembangunan tidak sesuai dengan IMB. Oleh karena itu IMB diwajibkan memiliki kesesuaian dengan spesifikasi bangunan.
2. Pembangunan tidak mengikuti waktu yang dijanjikan. Ketika membeli properti yang berasal dari developer, pembangunan yang dilakukan memiliki target kapan proyek tersebut akan selesai. Namun jangankan pengembang kecil, pengembang besar juga dapat mengalami keterlambatan pembangunan. Hal ini merugikan kita sebagai pembeli. Apalagi bila pembayaran dilakukan dengan tunai.
3. Fasilitas tidak sesuai janji dan pengembangan tidak berjalan. Pada saat pembelian banyak janji yang diberikan dalam tahap pembangunan fasilitas dan juga pengembangan ke depan. Semakin besar developer yang meng-handle proyek tersebut sebenarnya semakin menenangkan namun dalam praktiknya seiring dengan waktu bisa saja fasilitas mengalami perubahan dan pengembangan dihentikan akibat kurangnya prospek dan lain sebagainya.
Karena hal inilah kita wajib mengetahui kredibilitas developer terhadap proyek sebelumnya dan juga sebaiknya melakukan tinjau lokasi untuk dapat memahami kondisi dari daerah tersebut akan prospeknya ke depan. Karena bisa saja daerah tidak berprospek yang ingin coba diangkat oleh pengembang namun karena kesalahan kalkulasi membuat daerah tersebut terlalu berat untuk diangkat nilainya oleh pengembang tersebut. Pada umumnya daerah perintis atau daerah yang sedang diusahakan untuk dikembangkan akan diserbu oleh beberapa developer. Penyerbuan oleh beberapa developer dapat menjadi suatu indikasi bahwa daerah tersebut dapat terangkat dan dapat dikembangkan sesuai dengan visi dan misinya.
Praktik yang Mungkin Dianggap Penipuan dalam Dunia Properti
Seorang rekan saya membutuhkan uang dengan nilai 20 miliar rupiah dan berupaya mencari pinjaman untuk menutupi kebutuhan atas modal usahanya tersebut. Karena memang usahanya sulit mendapatkan bantuan modal melalui bank tentu saja segala pilihan pendanaan ingin dijajaki. Entah darimana rekan saya mendapatkan rekomendasi. Muncullah seseorang bernama si S yang ingin membantu, karena si S ini katanya memiliki fasilitas pengajuan ke Bank sebesar dana tersebut.
Segala bentuk kerja sama dan kesepakatan telah ditempuh. Dan semuanya sejauh ini baik-baik saja, si S juga tidak meminta dana atau apapun yang sifatnya memberatkan, hingga akhirnya semua proses menurut si S telah dia ajukan kepada bank yang mem-backup si S tersebut.
Selang beberapa lama si S tersebut menghubungi bahwa plafon dari bank-nya tidak bisa mencapai nilai 20 miliar namun hanya bisa 15 miliar. Dan akhirnya rekan saya menyetujuinya karena rekan saya berpikir bahwa nilai sisanya dapat ditutupi dengan strategi lainnya. Setelah nilai tersebut disepakati, S menghubungi bahwa sejauh ini prosesnya berjalan dengan baik, namun ada satu kendala yang harus diselesaikan bahwa si S diwajibkan menutup plafon di bank tersebut senilai 6 miliar agar prosesnya dapat dilanjutkan.
Si S bertanya kepada rekan saya apakah rekan saya bisa membantu si S sebesar 1,5 miliar di mana sisa dari permintaan si Bank dapat dipenuhi si S tersebut. Namun si S memberikan sebuah surat bangunan dan tanah yang dijadikan sebagai jaminan.
Rekan saya melihat adanya jaminan, maka jaminan tersebut di proses seperti layaknya ingin melakukan juak beli, dilakukan pengecekan BPN, notaris, IMB, dan sebagainya. Semuanya clear dan tidak bermasalah. Maka dilakukanlah proses balik nama dan dana tersebut diturunkan oleh rekan saya sebesar 1,5 miliar.
Setelah proses terjadi, maka proses kepada bank dilanjutkan kembali oleh si S, sepengakuannya tentunya. Maka rekan saya maupun si S tersebut saling menunggu jawaban dari bank. Namun selang hari berikutnya si S menghubungi bahwa plafon dari bank diturunkan, diturunkan dan terus diturunkan hingga nilainya mendekati nilai yang dipinjamkan rekan saya terhadap si S ini.
Rekan saya mulai merasa hal yang tidak baik terjadi. Maka dengan terjadinya hal tersebut maka rekan saya menghubungi si S dan bermaksud membatalkan proses tersebut karena memang dana 20 miliar yang diminta semakin kecil tentunya tidak bisa digunakan untuk usahanya.
Disinilah letak masalah mulai terjadi, ketika jaminan yang diberikan ternyata memiliki nilai valuasi dibawah 1,5 miliar dan si S juga tidak bisa mengembalikan dana tersebut dengan alasan diproses pada bank dan sudah disetorkan. Akhirnya rekan saya memiliki properti yang nilainya dibawah dari yang ia pinjamkan.
Dalam kondisi ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai full penipuan, namun lebih terkesan mampu menjual properti dengan harga over price kepada orang lain bukan? Namun bagi rekan saya, transaksi ini mengarah ke penipuan karena rekan saya mendapatkan aset yang nilainya lebih murah dari yang dia keluarkan, dimana uang yang dikeluarkan tersebut bukan untuk tujuan membeli aset.
Bagaimana pandangan Anda mengenai kejadian ini ? Silahkan komentar dibawah, ya.
Bagaimana pandangan Anda mengenai kejadian ini ? Silahkan komentar dibawah, ya.